.

.

Senin, 01 Februari 2010

DOKTRIN SOSPOL ASWAJA

oleh KH.Said Aqil Siradj, Ketua PBNU
Berdirinya suatu negara adalah keharusan dalam suatu komunitas umat (islam). Negara tersebut dimaksudkan untuk mengayomi kehidupan umat, melayani mereka, serta menjaga kemaslahatan bersama (masalah musytarokah). Keharusan ini bagi faham ahlus-sunnah wal jama'h (aswaja) hanyalah sebatas kewajiban fakultatif (fardu kifayah) saja,sehingga sebagaimana mengurus jenazah , jika sebagian orang sudah mengurus berdirinya negara, maka gugurlah kewajiban lainnya.
Oleh karena itu, konsep berdirinya negara (imamah) dalam aswaja tidaklah termasuk salah satu pilar (rukun) keimanan sebagaimana yang diyakini oleh syiah.Aswaja memang tidak memiliki patokan yang baku tentang negara. Suatu negara diberi kebebasan menentukan bentuk pemerintahanya,bisa demokrasi, keraja'an, teokrasi,ataupun bentuk lainnya. Aswaja hanya memberikan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suatu negara. Sepanjang persyaratan tegaknya negara tersebut terpenuhi, maka negara itu bisa diterima sebagai pemerintahan yang sah dengan tidak mempedulikan bentuk negara tersebut.
Sebaliknya, meskipun suatu negara memakai bendera islam, tetapi didalamnya terjadi banyak penyimpangan dan penyelewengan serta menginjak-injak sistem pemerintahan yang berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka praktik semacam itu tidaklah dibenarkan dalam aswaja.
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu negara tersebut adalah :
-Prinsip Syuro (musyawarah) sesuai dengan firman Allah , Qur'an surat Asy-Syuro 42:36-39.
-Prinsip Al-'Adl (keadilan) yang didasarkan pada Qur'an surat An-Nisa' 4:58
-Prinsip Al-Hurriyyah (kebebasan). Kebebasan dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi rakyat (umat) agar dapat melakukan hak-hak mereka. Hak-hak tersebut dalam syari'at dikemas dalam Al-Ushulul-Khoms (lima prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dhoruri) bagi setiap insan. Kelima prinsip tersebut adalah ;
1.Hifdzun-Nafs (jaminan atas jiwa/kehidupan) warga negara.
2.Hifdzud-Din (jaminan memeluk agama sesuai keyakinan).
3.Hifdzul-Mal (jaminan keselamatan harta benda).
4.Hifdzun-Nasl (jaminan asal usul, identitas, garis keturunan)
5.Hifdzul-'Irdhi (jaminan harga diri, kehormatan, profesi, pekerja'an atau
kedudukan).
-Prinsip Al-Musawah (kesetara'an derajat)
Dari beberapa syarat tersebut tidaklah terlalu berlebihan jika sebenarnya sistem pemerintahan yang mendekati kriteria diatas adalah sistem demokrasi. Demokrasi yang dimaksud adalah sistem pemerintahan yang bertumpu pada kedaulatan rakyat. Jadi kekuasa'an negara sepenuhnya berada ditangan rakyat (civil society) sebagai amanat dari Allah.
Harus kita akui bahwa istilah "demokrasi" tidak pernah dijumpai dalam bahasa Al-Qur'an maupun wacana hukum islam klasik. Istilah tersebut diadopsi dari para negarawan di Eropa. Namun harus diakui pula bahwa nilai-nilai yang terkandung didalamnya banyak menyerupai prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan bernegara menurut aswaja.
Dalam era globalisasi, dimana kondisi percaturan politik dan kehidupan umat manusia banyak mengalami perubahan yang mendasar, misalnya kalau dulu dikenal komunitas kabilah, sa'at ini sudah tidak dikenal lagi, bahkan kondisi umat manusia sudah menjadi "perkampungan dunia", maka demokrasi harus ditegakkan.
Pada masa lalu banyak ditemui ghonimah (harta rampasan perang) sebagai suatu perekonomian negara. Sedangkan pada sa'at ini sistem perekonomian tersebut sudah tidak dikenal lagi. Perekonomian negara banyak diambil dari pajak dan pungutan lainnya. Begitu pula jika pada tempo dulu akidah merupakan sentral kekuatan pemikiran, maka sa'at ini akidah bukanlah merupakan satu-satunya sumber pijakan. Umat sudah banyak berubah kepada pemahaman akidah yang bersifat plural.
Dengan demikian , pemekaran pemikiran umat islam haruslah tidak dianggap sebagai suatu hal yang remeh dan enteng, jika umat islam tidak ingin tertinggal oleh bangsa-bangsa lain dimuka bumi ini. Tentu hal ini mengundang konsekuensi yang mendasar bagi umat islam, sebab pemekaran tersebut pasti banyak mengubah wacana pemikiran yang sudak ada (salaf/klasik) dan umat islam harus secara dewasa menerima transformasi tersebut sepanjang tidak bertabrakan dengan hal-hal yang sudah paten (qoth'i). Sebagai contoh , dalam kehidupan bernegara (baca:demokrasi), umat islam harus dapat menerima seorang pemimpin (presiden) dari kalangan non muslim atau wanita.

sumber,tabloid suara ansor pc.cirebon edisi 2/desember 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar